Penguasa muslim, kafir dan murtad
RosulULLAH berkata : ” Akan muncul pemimpin – pemimpin yang berbadan manusia tapi berhati syaithon”
Bertanyalah para sahabat saat mendengar perkataan RosuLULLAH itu : “Apakah kami harus menghunus pedang dan memerangi mereka ya RosulULLAH”.
Dijawab oleh RosulULLAH : “jangan selama mereka menegakkan shalat”.
Benarlah Hadits Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam, hanya saja butuh banyak waktu bagi anda untuk memahami makna hadits tersebut, dan kemudian anda komparasikan dengan hadist-hadist selainnya serta ayat-ayat dalam alqur’an berikut keterangan – keteranga para ulama’ supaya anda bisa memahami & mengamalkannya secara tepat, sudahkah….??
Mungkin sudah, tetapi masih kurang maksimal
Sebagaimana hadist diatas, ” Akan muncul pemimpin – pemimpin yang berbadan manusia tapi berhati syaithon”
Urusan hati, siapa yang tahu….??
Makanya baginda Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam membatasinya dengan, “Jangan selama mereka menegakkan shalat”.
yaitu dengan salah satu perkara ada tidaknya Ashul Iman pada diri yang bersangkutan, karena menegakkan shalat merupakan Ashlul Iman. Hal ini sebagaimana Penghukuman yang berlaku bagi orang MUNAFIQ, selama mereka tidak menampakkan pembatal keislaman.
Kesalahan penggunaan dalil yang terlalu di paksakan
Diantara kesalahan fatal yang berbahaya yang terdapat dalam pemikiran anda adalah menggunakan hadits-hadits yang semestinya ditujukan untuk menyikapi para pemimpin kaum Muslimin, tetapi oleh anda terapkan pula kepada para penguasa Murtad, misalnya hadits Marfu’ dari Ibnu Abbas r.a :
“Barangsiapa membenci sesuatu perbuatan dari pemimpinnya hendaklah dia bersabar, karena siapapun yang keluar dari keta’atan terhadap penguasa walau sejengkal, maka dia mati dalam keadaan Jahiliyah ” (Muttafaq ‘Alaihi)
Juga hadits ‘Auf bin Malik Al-Asyaji, bahwa Rasulullah S.A.W bersabda :
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang engkau cintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian berbaik-baik kepada mereka dan mereka berbaik-baik kepada kalian. Sedangkan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan merekapun membenci kalian, kalian melaknati mereka dan merekapun melaknati kalian-
kata Al-Asyaji : waktu itu kami bertanya: “Apakah tidak sebaiknya kita melengserkan kekuasaan mereka?” Rasulullah s.a.w menjawab : Tidak usah, selagi mereka (mengatur) penegakkan sholat di antara kalian ” (Muttafaq ‘alaihi).
Dalam lain riwayat disebutkan : “Jangan, selagi mereka sholat”
Untuk mengungkap kerancuan ini, terdapat Dua penjelasan:
Pertama :
Hadits-hadits tersebut merupakan hak para penguasa Muslim, bukannya hak para penguasa kafir, juga bukan merupakan para penguasa murtad, ini karena:
1. Mereka tidak memenuhi kriteria pengemban Imamah (kepemimpinan) yang dianjurkan dalam syari’at Islam, misalnya mengenai ilmu syar’I, keadilan dan selainnya.
2. Para penguasa tersebut tidak terikat oleh Bai’at Syar’I yang Shahih, sedangkan sebuah Bai’at tidak akan Syar’I kecuali berdasarkan syarat hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari bahwa Ibnu Umar menulis kepada Abdul Malik bin Marwan untuk membai’atnya :
“Saya mengakui kekuasaan anda dengan sikap siap mendengar dan ta’at atas ketentuan Allah dan Rasul-Nya, sesuai dengan kemampuan saya” (Hadits no 7272).
Ibnu Hajar berkata : “Dan asal dalam mubaya’ah (pembai’atan) terhadap Imam adalah membai’atnya untuk beramal dengan alhaq (kebenaran,islam), menegakkan hudud, amar ma’ruf dan nahyi munkar” (Fathul Baari 13/203).
Adapun para pemimpin negara yang di anggap sebagai ULIL AMRI itu, pada saat pelantikannya mereka bersumpah atas nama Alloh untuk beramal dengan undang-undang buatan manusia dan hukum positif, menjunjung tinggi, menjaga serta membelanya dibawah payung Demokrasi (Demos – Kratos : Kekuasaan ditangan suara mayoritas manusia, bukan di tangan Alloh ) yang merupakan produk kafir Yunani Kuno dan dibawa ke negeri ini oleh kolonial, dan kalian senantiasa menyerukan bahwa mereka sebagai ULIL AMRI yang harus ditaati…??
3. Para penguasa tersebut tidak melaksanakan kewajiban yang harus dilakukan sebagai pemimpin Islam, bahkan merupakan prioritas yaitu menjaga dien (agama) atas dasar-dasarnya yang telah ditetapkan, Sebagaimana disebutkan oleh Al-Mawardi (Al-Ahkamush Shulthaaniyah hal 15-16) diantaranya melaksanakan hukum Hudud (atau menjaga perbatasan perang) dan menegakkan Jihad Fie Sabilillah. Kenyataannya, apakah para penguasa itu menjaga dien atau malah menelantarkannya?
Maka dari keterangan-keterangan di atas, dapat lihat bahwa para penguasa itu tidak termasuk sebagai A-Immatul Muslimin (pemimpin kaum Muslimin), baik ditinjau dari persyaratan pemimpin Islam, dari segi bai’at maupun dari segi kewajiban, maka sebenarnya dapat dengan mudah anda fahami bahwa menerapkan hadits-hadits tersebut kepada para pemimpin yang tidak pada tempatnya adalah merupakan kesalahan fatal yang amat berbahaya.
Kedua :
Jika Anda hendak memaksakan diri menggunakan hadits-hadits tentang menyikapi para pemimpin tersebut, maka hadits-hadits yang dimaksud diatas tidak berdiri sendiri (Muqayyad), terdapat hadits lain yang menjelaskan posisi hadits berkenaan, yaitu hadits ‘Ubadah bin Ash-Shaamit :
“Dan janganlah kita membangkang pemegang kekuasaan, Rasulullah s.a.w bersabda : Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata, berdasarkan keterangan yang jelas dari Allah ” (Muttafaq ‘alaihi)
Tatkala ternyata penguasa dengan jelas telah melenceng, yaitu dengan Berwala’ kepada Zionis Salibis Yahudi & Amerika dan juga Membuat & Menerapkan hukum dengan selain yang telah Allah turunkan, maka gugurlah kewajiban menta’atinya, dan keluar dari ketentuan perwalian, bahkan wajib menentangnya.
Sebagaimana dikatakan oleh Qadhi ‘Iyadh -dalam syarah hadits Ubadah :
“Ulama telah Ijma’ bahwa Imamah (kepemimpinan) tidak boleh diserahkan kepada kafir, dan jika kafir memegang tampuk kekuasaan, maka kekuasaan tersebut wajib dilengserkan –sampai kepada– jika orang kafir tiba-tiba menguasainya dan merubah hukum Islam atau melaksanakan Bid’ah, maka penguasa itu keluar dari hukum perwalian (tidak berhak mendapat perwalian), dan kewajiban menta’atinya gugur, kaum Muslimin wajib menentangnya sekaligus mencabutnya untuk kemudian menggantikannya dengan Imam yang adil jika mereka memungkinkan untuk melakukan hal tersebut …”
(Shahih Muslim dengan syarah Nawawi 12/229)
Wahai saudaraku kaum Muslimin, dari sini mengertilah kita bahwa tidak relevan menggunakan hadits-hadits yang semestinya untuk para penguasa Muslimin sebagai dalil untuk diterapkan kepada para Penguasa Thaghut.
Anda dapat melihat betapa bahayanya kerancuan penggunaan dalil seperti itu yang pada akhirnya memalingkan kaum Muslimin dari kewajiban berjihad menentang Thaghut ( Baik dari Barat maupun Timur ).
Hukum mengenai ini-bersabar terhadap penguasa yang jahat dan memerangi penguasa yang kafir- diambil berdasarkan penggabungan beberapa hadits dalam menta’ati para penguasa,
Misalnya hadits Ibnu Abbas, marfu’ :
“Barangsiapa membenci sesuatu dari pemimpinnya maka hendaklah bersabar, karena siapa yang keluar dari keta’atan kepada penguasa walau sejengkal, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah” (Muttafaq ‘alaih),
Dan hadits Ibnu Mas’ud, marfu’,:
“Sesungguhnya kalian akan dapati setelahku nanti atsarah (orang yang mementingkan diri sendiri) dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Para sahabat bertanya : Apa yang engkau perintahkan kepada kami jika di antara kami menjumpai hal seperti itu? Penuhilah hak mereka terhadap kamu, dan mintalah hak kamu kepada Allah ” (Muttafaq ‘alaihi) Dan hadits lain yang sejenis, dari jalur Wa-ilbin Hujr dan hadits Ummu Salamah Radhiyallaahu ‘anhum ajma’in, seluruh
Hadits tersebut muqayyad (terikat,tidak berdiri sendiri) dengan adanya hadits Ubadah bin Shaamit :
“Rasulullah s.a.w menyeru kami, lalu kami membai’atnya, diantara bai’at yang kami ucapkan ialah agar kami mendengar dan ta’at, dalam keadaan suka maupun benci, dalam keadaan susah maupun sulit, atau ketika kami diperlakukan semena-mena, dan agar tidak mengadakan kudeta (perebutan kekuasaan) dari tampuknya, kata Rasulullah : Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata, yang kalian ketahui berdasarkan keterangan dari Allah ” (Muttafaq ‘alaihi)
Hadits ini merupakan hadits-hadits tentang kesabaran dan kekhususannya. Apabila penguasanya kafir, wajib dengan adanya Ijma’ bagi kaum Muslimin untuk menentangnya bahkan melengserkannya. Imam Bukhari Rahimahullah mengisyaratkan hadits di atas sebagai taqyid (perubah keberdirisendirian) hadits-hadits sabar seperti hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud terdahulu, kemudian disusul oleh hadits Ubadah dalam bab yang sama (Bab kedua dari kitab Al-Fitan dalam Shahihnya)
Dalam hal ini hujah penentangan penguasa sekarang dikalahkan oleh hujjah Ijma’ yang dinukil oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dan Ibnu Hajar. Ketika penguasa berada dalam kekufuran, maka perlawanan terhadapnya tidak dilihat sebagai mafsadat (kerusakan), karena memang tidak ada mafsadat yang lebih besar daripada fitnah kafir, firman Allah :
” Dan fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan ” (Al-Baqarah 217)
Wallohu ta’ala ‘alam….
Al Faqir Ilalloh Abu Muhajir
Fie Nusantarey
Home »
Agama »
Bai'at »
Hikmah »
Kilasan Hatimu »
MetroTV »
NII »
Sahabat Sejati »
Sejarah »
SMK »
Terorisme »
Thoghut »
TVone »
Umum »
Status yang keliru kepada penguasa saat ini
Senin, Juli 5
Status yang keliru kepada penguasa saat ini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Isi Blog
-
►
2016
(3)
- ► Desember 2016 (1)
- ► November 2016 (2)
-
►
2015
(6)
- ► Desember 2015 (1)
- ► September 2015 (2)
- ► April 2015 (3)
-
►
2013
(1)
- ► Oktober 2013 (1)
-
▼
2010
(64)
- ► November 2010 (1)
- ► Oktober 2010 (1)
- ► September 2010 (3)
- ► Agustus 2010 (12)
- ► Februari 2010 (1)
- ► Januari 2010 (10)
-
►
2009
(29)
- ► Desember 2009 (15)
- ► November 2009 (8)
- ► Oktober 2009 (6)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih atas komentar anda mudah-mudahan tidak bosan untuk berkunjung pada blog yang sederhana ini