Sebuah catatan kecil tentang ilmu, dakwah, jihad, jamaah, keadilan, kesejahteraan, tegaknya hukum, mulkiyah, rububiyah, uluhiyah, asma wa sifat,Marifah, Thaghut, Negara Islam, Tauhid, demokrasi, hukum islam, doa, shalat

Selasa, Januari 5

Jilbab (Hijab/bukan kerudung)

Perintah hijab (jilbab) dalam Al-Qur’an selalu diawali dengan kata-kata “wanita yang beriman”, menunjukkan betapa asasinya kedudukan hijab bagi wanita-wanita mukminah. Karenanya ada baiknya sebelum memusatkan perhatian pada pembahasan mengenai hijab, terlebih dulu kita renungkan soal iman yang merupakan dasar perintah esensial ini.
Dasar dari segala ketaatan dan kepatuhan dalam islam adalah iman. Seseorang yang sungguh-sungguh beriman kepada Allah, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, tentu terpanggil untuk menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Karena itu begitu seorang mukmin mengetahui dari Al-Qur’an bayhwa Allah telah mengharamkan segala macam perbuatan keji dan munkar, serta merta ia akan berusaha menghindarinya. Sampai didalam hatinya sekalipun tidak ada niat untuk melakukannya. Jelaslah bahwa iman yang bisa mengikat hati seseorang untuk tetap patuh pada hukum-hukum Allah dalam semua urusan hidupnya. Karena dalam islam lebih dahulu mengajak umatnya untuk beriman dan mengokohkan iman tersebut sebelum mengajari ihwal akhlak dan tata cara bermasyarakat.

Imam Ja’far Shadiq r.a berkata :
“Sesungguhnya Allah telah mengamanahkan iman dan membagi-ratakan keseluruh anggota badan manusia ini. Dan tidak ada satupun dari organ tubuh ini yang tidak diamanahi iman oleh Allah swt. Barangsiapa menemui Allah dalam keadaan telah menjaga baik seluruh anggota badannya, dengan cara menunaikan apa yang diwajibkan Allah kepadanya, berarti telah menemui Allah dengan iman yang sempurna: dan dia termasuk dalam golongan ahli surga. Sebaliknya, barangsiapa yang mengkhianati amanah Allah ini dan tidak mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, maka dia telah menemui Allah dengan iman yang kurang. Allah berfirman :
“ Dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" adapun orang-orang yang beriman, Maka surat Ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit*, Maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang Telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” ( QS. 9 Al-Anfal : 124-125 )
* maksudnya penyakin bathiniyah seperti kekafiran, kemunafikan, keragua-raguan dan sebagainya.

Kalau seandainya seluruh iman itu sama dan sederajat, maka tidak akan ada seseorang yang lebih mulia dari orang lain dan nikmatpun akan dibagikan rata, seluruh manusia akan sama dan tidak ada kelebihan satu dengan yang lainnya. Dengan iman yang sempurna orang mukmin akan masuk surga. Denga iman yang lebih maka orang-orang mukmin akan mendapatkan derajat yang lebih mulia disisi Allah. Dan dengan iman yang kurang maka orang-orang yang lalai itu akan terjerumus kedalam api neraka”



-Ciri-ciri mukmin. QS. (8) Al-Anfal : 2-3
Iman akan bertambah atau berkurang menurut amal yang bersangkutan. Ketika iman telah samapi pada satu titik kesempurnaan, dia akan menyadari hakekat diri dihadapan Allah yang Maha Tinggi. Dia yakin bahwa segala sesuatu adalah milik-Nya. Hanya Allah –lah Rabb semesta alam. Tempat berlindung dan tempat kembali. Patuh akan segala perintah-Nya, rela dengan segala takdir yang telah ditentukan-Nya dalam hidup ini dan tidak mencari alasan untuk menolak hukum-hukum syariah yang telah digariskan-Nya. Mutlak patuh dalam segala kewajiban dan menghindari segala larangan-Nya. Jika hakekat iman tersebut telah menetap didalam hati, maka hamba tersebut akan mengikrarkan penghambaan-Nya dihadapan Allah Yang Maha Agung dan Mulia, menempatkan dirinya pada seorang hamba yang hina dihadapan Allah Yang Maha Mulia melalui shalat (suatu medium komunikasi antara hamba yang hina dengan Allah Yang Maha Segala). Tidak hanya sebatas itu saja, mukmin harus terjun kegelanggang kehidupan masyarakat untuk menciptakan kehidupan yang harmonis antara dia dan masyarakat, memperhatikan hal-ihwal mereka, berinfaq kepada fakir miskin, mengajarkan mereka yang halal dan yang haram, yang haq dan yang bathil (nafkah harta dan nafkah ilmu).
Lalu dalam QS. (49) Hujurat : 14 ditegaskan bahwa iman bukan sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat, melainkan merupakan amal shaleh. Dalam definisi iman kita dapati bahwa ia adalah iqrar bil lisan wal-‘amalu bil arkan (ikrar dengan lisan dan amal dengan rukun). Pengejawantahan amal saleh ini terwujud pada sikap tawakal kepada Allah, tidak ragu dalam menerima kewajiban-Nya, tidak takut kecuali kepada Allah, tidak melalaikan kewajiban dari Allah dan patuh akan segala perintah-Nya, melakukan shalat dengan khusuk, menunaikan zakat, berinfaq kepada fakir miskin, menghindari zina, memperhatikan orang lain, tidak memakan riba, menunaikan amanah, tidak berdusta dan lain sebagainya. Lihat QS. (2) Al-Baqarah : 177 ; (23) Al-Mukminuun : 1-11
Mereka yang melengkapi dua syarat pokok ini (iman dan amal saleh) telah dijanjikan Allah akan menemui akhir yang bahagia. Lihat QS. (16) An-Nahl : 97 ; (13) Ar-Ra’d : 29 ; (29) Al-‘Ankabuut : 58 dan masih banyak lagi ayat-ayat yang serupa.

Konsekuensinya, mereka yang beriman namun tidak beramal shaleh, atau beramal shaleh tapi tidak beriman, atau tidak kedua-duanya, pada ahkirnya akan menemui kebinasaan dan jauh dari rahmat Ilahi. Dalam surat Al-Ankabut (29:1,2) Allah bertanya kepada orang-orang yang beriman :
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
Hal itu menunjukkan bahwa hakekat iman yang diinginkan Allah swt dari hamba-hamba-Nya, adalah iman yang hakiki, iman dalam arti yang sebenar-benarnya, iman yang kokoh dan kuat, iman yang tidak mudah goyah karena gelombang fitnah dan ancaman perubahan zaman. Allah tidak membiarkan hamba-hamba-Nya sekedar mengucapkan : “Kami telah beriman kepada-Mu”, tanpa mau merasakan cobaan dan ujian-Nya yang telah menjadi Sunnatullah ini, agar Dia mengetahui siapa yang betul-betul jujur dalam imannya itu dan siapa yang berpura-pura dan munafik.

Dalam surat Al-Ahzab (33:36) kita melihat bahwa konsekuensi iman adalah menerima seluruh perintah Allah dan Rasul secara dogmatis. Dalam hal ini kita dilarang mempunyai inisiatif sendiri (untuk melakukan inovasi) atau memilih alternatif lain dalam menghadapi hukum-hukum syariah ilahi. Allah berfirman :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. 33 : 36)
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka* ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.

*Maksudnya: di antara kaum muslimin dengan kaum muslimin dan antara kaum muslimin dengan yang bukan muslimin.

Nah, jilbab atau hijab adalah salah satu diantara berbagai hukum syariah Ilahi itu, yang dengan tegas dan nyata termaktub didalam Al-Qur’an dan Hadist Nabawi.
Pokok pangkal dalam masalah hijab sebenarnya bukan apakah sebaiknya wanita berhijab dalam pergaulannya dengan masyarakat, melainkan apakah laki-laki bebas mencari kelezatan dan kepuasan dalam memandang wanita.

Menurut islam, laki-laki hanya diizinkan mencari kelezatan dan kepuasan memandang dalam batas-batas keluarga dan pernikahan saja, dan dilarang keras mendapatkan diluar wilayah ini. Tujuan pembatasan ini agar tercipta keluarga yang sehat, harmonis dan saling mempercayai, sebagi sendi bagi terwujudnya masyarakat yang sehat, damai berwibawa, dan menjunjung tinggi harkat wanita.

Hijab dalam ajaran islam menanamkan suatu tradisi yang universal dan fundamental untuk mencabut akar-akar kemerosotan moral, dengan menutup pintu pergaulan bebas. Sungguh, sangat berbeda dengan peradaban barat yang mengutamakan kelezatan dan kenikmatan pada masa lajang dan memandang pernikahan sebagai penjara dan keterikatan.

Hijab, sesuai dengan makna harfiahnya, adalah pemisah, dalam pergaulan antara laki-laki dan wanita. Tanpa adanya pemisah ini. Akan sukarlah mengendalikan nafsu syahwat yang merupakan naluri yang sangat kuat dan dominan. Sedang jiwa manusia ini betul-betul mudah goyah dan berubah. Sebagaimana manusia tidak pernah puas dengan harta dan kedudukan, demikian juga mereka tidak pernah puas dengan kelezatan pemuas hawa nafsu. Laki-laki tidak pernah puas memandang paras muka yang cantik nan molek, begitu juga wanita tidak pernah puas untuk memamerkan kecantikan wajahnya untuk menarik perhatian laki-laki. Tak heran jika seks dan pergaulan bebas dibarat melahirkan banyak penderita penyakit-penyakit penyakit jiwa.

Wanita merupakan simbol keindahan, maka sudah sepatutnya perintah ini ditujukan kepada wanita bukan laki-laki. Lagi pula kenyataannya laki-laki mlebih lengkap untuk menggunakan pakaian dari pada wanita. Hal ini bukanlah suatu hal aneh, mengingat kecenderungan laki-laki bukan untuk pamer tubuh melainkan memandang (tubuh) lawan jenis. Sebaliknya wanita lebih cenderung untuk memamerkan kecantikan tubuhnya dan lebih tak acuh dalam memandang tubuh lawan jenis. Akibatnya wanita cenderung untuk selalu berhias dan berhias, berlomba-lomba dalam memamerkan diri, untuk dapat menarik perhatian laki-laki. Dengan catatan kalaupun ada laki-laki yang juga memiliki kecenderungan pamer tubuh seperti wanita dan dapat menjadi sumber fitnah maka islam pun sudah mengatur cara-cara penanggulangannya secara profesional.

Dengan pakaian islami ini wanita akan lebih terhormat, terjaga dari gangguan orang usil dan amoral. Bukankah pakaian lengkap akan menunjukkan kedudukan wanita yang mulia dan terhormat? Sebaliknya wanita yang berpakaian terbuka menunjukkan murahnya seorang wanit, yang siapa saja bisa melihat, menikmati, dan terkesan tidak ada harganya.
Dengan memakai hijab, bukan berarti wanita dilarang atau dibatasi aktifitas-aktifitas sosialnya. Bahkan islam mewajibkan setiap muslim untuk selalu menuntut ilmu, baik pria maupun wanita, dan tidak berpangku tangan memencilkan diri didalam rumah terus.

Jelaslah bahwa hijab (jilbab) sama sekali bukan merupakan penyebab dari kebobrokan masyarakat, tetapi sebaliknya. Dimana banyak kita jumpai betapa banyak wanita yang melahirkan diluar pernikahan, lahir tanpa bapak, dan banyak kasus yang semuanya merugikan pihak wanita yang tidak menggunakan hijab. Atau menggunakan hijab tetapi tanpa diladasi ilmu yang benar yang sesuai dengan tuntuna Qur’an.

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” ( QS. 24 : 31)

Jilbab (Hijab/bukan kerudung) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Muhasabah Diri

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih atas komentar anda mudah-mudahan tidak bosan untuk berkunjung pada blog yang sederhana ini